RevenueHits

Selamat datang di Blog anak-anak tangga, jika teman-teman butuh dukungan doa bisa hub di 081293642923

PAK Pada Masa Gereja Purba

 PAK PADA MASA GEREJA PURBA
(Abad ke-2 sampai Abad ke-5)

A.    Tantangan yang Dihadapi Gereja Purba
Sejarah PAK dimulai pada awal abad ke-2 sampai abad ke-5. Pada abad ke-2 pemeluk agama kristen masih sangat sedikit jumlahnya. Pada masa ini tidak ada seorang pemimpin kristen yang cukup berani untuk menubuatkan bahwa kekeristenan akan bertumbuh besar pada abad    ke-5.
Dalam pertumbuhan kekeristenan mulai dari abad ke-2 sampai abad ke-5 ada beberapa hal yang menjadi sebuah tantangan bagi gereja purba yaitu adalah sebagai berikut:
1.      Gereja Purba dihadapkan pada kebudayaan yang mempercayai dewa dan dewi yang banyak. Masa Romawi juga mengangkat seorang kaisar menjadi tuan atau dewa yang layak untuk disembah, dengan membentuk sistem pemerintahan agama negara. Setiap warga negara harus datang beribadah di kuil untuk menyembah patung-patung raja. Orang kristen juga mendapat ujian akan hal ini, jika mereka tidak mau menyembah patung raja, maka mereka akan dihukum mati.
2.      Gereja Purba ditantang untuk dapat mengambil sistem intelektual kebudayaan Yunani tanpa harus bertentangan dengan ajaran kebenaran Firman Tuhan. Dimana apakah harus menggunakan karangan kafir dan meninggalkan Alkitab.
3.      Gereja Purba diuji kemurnian pengakuan imannya, di tengah banyaknya aliran-aliran agama dan intelektual yang dikenal di dunia Yunani dan Romawi pada zaman itu, seperti Gnostik, Mitraisme, dan Neoplatonisme.
4.      Gereja Purba dihadapkan kepada tuduhan-tuduhan yang berusaha melemahkan atau meremehkan iman kristen dan juga gaya hidup mereka. Orang kristen dianggap tidak memiliki tuhan karena dalam beribadah tidak ada patung-patung yang disembah. Dituduh melanggar norma-norma  karena tidak ikut dalam perayaan upacara-upacara keagamaan, dan mereka juga dianggap memakan dagin dan meminum darah bayi mereka sendiri serta melakukan perzinahah sebagai suatu bagian integral dari agama kristen.

B. Wadah Pedagogis Gereja Purba
            Dalam pengembangan pedagogis ini, gereja purba mulai mengembangkan tiga wadah pokok yaitu kebaktian, katekese, dan sekolah katekese.
1.      Kebaktian Umum
Gaya hidup bersama berdasarkan pengalaman beribadah orang yahudi di sinagoge, dan sebagian upacara rahasia oleh agama mistery Yunani. Sebagai keturunan Yahudi orang Kristen dalam beribadah mencakup tiga hal, hal ibadah pendidikan dan persekutuan. Jemaat dididik melalui melalui nyanyian mazmur dan melalui firman yang dibaca, baik yang sudah di sidi maupun yang ingin menjadi katekumen.
Setiap katekumen disuruh keluar ketika tiba saat untuk perjamuan kudus. Sebab mereka belum layak untuk menerima perjamuan kudus, hal seperti ini di warisi dari agama mistery Yunani. Setiap jemaat yang sudah disidi berhak menerima perjamuan kudus dengan memakan roti dan anggur sebagai lambang kesatuan didalam Kristus sehingga dijadikan suatu persekutuan dalam kasih yang dilambangkan dengan cium kudus di antara seorang dengan yang lain. Gereja purba dalam mengajarkan iman melalui puji-pujian dan gaya hidup mereka.

2.       Katekese
Katekese bertujuan untuk menanggulangi banyaknya orang dewasa yang ingin mengandikan hidupnya nbagi Kristus. Menurut Justin terdapat tiga syarat sebelum calon itu dibaptis, ia harus bertobat bersandar pada gereja, percaya, serta menerima seluruh pengajarannya dan hidup berkarakter dalam pertobatannya. Para calon dapat dibaptis kapan saja tetapi orang lebih suka dibapitis pada hari paskah.
Pada abad ketiga semakin sadar akan pentingnya pedagogis, dan semakin memperketat syarat yang harus dipenuhi oleh calon katekumen. Apabila seorang katekumen lulus maka mereka dinamakan competens (boleh menerima baptisan) kepada mereka Uskup memberikan pengajaran tentang hukum Allah dan seluruh isi Alkitab, mulai dari Kejadian sampai kitab Wahyu. Setiap competens harus menghapal setiap pengakuan iman dan pada hari sabtu sebelum permulaan minggu sengsara setiap competens memilik kesempatan untuk mengucapkan pengakuan iman didepan Uskup. Dalam seminggu kemudian mereka harus berpuasa dan mawas diri, hal ini dilakukan sampai pertengahan malam minggu hari paskah. Pada saat pembaptisan dilaksanakan Uskup mencelupkan calon itu ke dalam air, kali yang pertama Uskup mengucapkan “ aku membaptis kamu dalam nama Bapa”, pada kali kedua “dan dalam nama Anak Allah”, dan pada kali yang ketiga, “dalam Nama Roh Kudus”. Sebelum dibaptis calon menghadap ke barat sambil menolak setan tiga kali. Setelah calon sudah dibaptis ia berhak menerima perjamuan kudus meskipun pembelajaran belum selesai.

3.      Sekolah Katekisasi 
Sekolah katekisasi yang dimaksud disini mirip dengan semacam Sekolah Teologia, jika kita melihat kurikulumnya sekolah ini mirip dengan fakultas sastra karna dalamnnya  mempelajari bahasa, lalu sekolah ini juga mirip dengan fakultas sains oleh karena mahasiswa dan mahasiswinya mempelajari tentang ilmu ukur dan ilmu hayat. Namun karena sekolah ini lebih mengutamakan tentang pelajaran Alkitab, maka sekolah katekisasi lebih sama dengan sekolah Alkitab atau fakultas Teologi.
Setiap sekolah katekisasi berbeda-beda dalam pendekatannya, contoh sekolah di Alexandria lebih berorientasi pada filsafat plato dan cara berpikirnya (pendekatan deduktif). Sedangkan berada di anthiokia lebih ondong kepada filsafat Aristoteles dan cara berpikirnya (pendekatan induktif). Dalam penafsirannya sekolah yang di Alexandria lebih menggunakan cara Alegoris sedangkan Anthiokia secara historys.
C.                Prinsip-prinsip Pedagogis Para Pedagog Gereja Purba
Para Pedagog gereja purba menggangap pergumulan teologis merupakanbagian dari pendidikan agama kristen. Oleh sebab itu, seluruh pergumulan teologi gereja pada abad-abad pertama itu tidakdipisahkan dari pelayanannya di bidang pendidikan agama kristen. Saat melakukan pelayanan di bidang PAK para pedagog gereja purba tersebut menyuarakan prinsip-prinsip pedagogis. Adapaun prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut:
1.      Prinsip-prinsip Pedagogis Clementus
Clementua (150-215 M) dia lahir dikota Atena dan meninggal di Palestina, ketika umur 30 tahun ia masuk sekolah katekisasi dibawah bimbingan Pantaenus. Gagasan-gagasan pokok di bidang PAK yang di jelaskan oleh Clementus terdapat dalam tiga karya yaitu: Protrepikos (nasihat yang disampaikan kepada kaum kafir), Paidagogos (sang pendidik), dan Stomateis (bunga rampai). Menurut Clementus sang pengajar yang memainkan peranan paling utama dalam PAK bukanlah seseorang yang berdiri di depan kelas, namun pendidik pokok adalah tidak lain dari pada Firman Allah yaitu Kristus.
Firman Allah ingin sekali menyempurnakan jalan untuk mengantar kita berangsur-angsur menuju keselamatan dengan cara menyesuaikan suatu urutan dengan perkembangan kita, yaitu: pertama-taman Firman Tuhan meyakinkan kita, lalu mengajar kita, dan kemudian mendidik. Menurut Clementus para pelajar adalah anak-anak meskipun mereka sudah dewasa, kata anak-anak disini sesuia dengan ( 1 Yohanes 2:18) dimana Allah sendiri menjadi Bapanya (bagi mereka yang percaya kepada Dia).
Tujuan PAK yang hendak dicapai oleh Clementus adalah menghasilkan orang kriten yang kaya dalam Kristus dan dalam kebudayaan Yunani. Supaya menghantarkan kita kepada meditasi tentang Allah dan mengamalkan prilaku suci. Pendidikan dapat terjadi apabila ada seorang yang rela diajar, mau mengajar, adanya proses belajar mengajar dan kurikulum.
2.       Prinsip-prinsip pedagogis Origenes
                        Origenes (185-224 M) dia adalah murid dari Clementus dia mengharumkan nama kota Alexandria melalui sekolah katekisasi dan menjadi pusat penelaahan ilmiah. Origenes ini memiliki pemahaman filsafat Yunani dan juga Alkitabiah, dimana filsfat Yunani dijadikan sebagai pendorong untuk menjernihkan pemikiran namun Filsafat Yunani tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan ilahi.
                        Pengalaman memperoleh pengetahuan melalui proses belajar, namun kemampuan manusia itu tebatas, maka dari itu manusia membutuhkan penyataan Allah melalui penyataan-Nya di dalam Alkitab dan melalui Yesus Kristus. Dalam ilmu penafsiran Origenes menggunakan metode alegoris, karena dengan metode ini arti yang tersembunyi di bawah perikop dapat ditemukan.
                        Dalam mengajar peran guru sangat penting, dimana kesan pertama sangat mempengaruhi pembelajaran selanjutnya, dan pada saat itu pula seorang murid menyesuaikan diri dengan gurunya. Maka dari itu seorang guru harus dapat memanfaatkan moment ini sebaik mungkin, untuk menggugah hati sang murid untuk memiliki semangat belajar yang tinggi. Origenes memiliki sifat yang baik dalam mengajar yaitu sifat yang manis, sabar dan juga menikmati proses belajar-mengajar, dan memiliki kepercayaan diri. Hal ini diwujudkannya dengan tidak pernah menghina murid dan juga tidak pernah ingin dianggp lebih besar. Dimana tugas seorang guru adalah membimbing murid untuk menjernihkan pemikirannya dan mengajarkan mereka untuk kritis, sehingga tidak mudah percaya terhadap pernyataan-pernyataan orang yang salah. Seorang guru juga memilik tugas untuk mendidik seorang anak untuk menjadi seorang yang percaya kepada kemampuan dirinya, sehingga mampu mengembangkan potensi yang ia miliki.
3.      Prinsip-prinsip Pedagogis Hieorenimus
                        Hieorenimus adalah seorang penerjemaah Alkitab dari bahasa Ibrani dan Yunani kedalam bahasa Latin (Vulgatus), dan sebelum itu ia adalah seorang guru yang mengajar wanita Romawi dari golongan elit yang ingin tahu tentang Alkitab lebih dalam. Hieorenimus menjelaskan dengan jelas tentang bagaimana mengajar anak, khusunya mengajar anak perempuan di dalam dua suratnya yang dikirim kepada seorang ibu yang bernama Laeta dan seorang ayah yang bernama Gaudentius.
                        Paula adalah seorang wanita yang diajar oleh Hieorenimus , ia diajarkan untuk tidak bermain dengan laki-laki supaya tidak terpengaruh dengan kata-kata yang kasar dan perbuatan buruk tidak dilihatnya. Setiap pembantunya tidak boleh sembarangan , yang dimaksud sembarangan adalah tidak memiliki kehidupan keduniawian yang tidak menyanyikan lagu pop, sebaiknya Paula menyanyikan mazmur-mazmur. Paula juga didik untuk tidak makan bersama dengan orang tuanya, hal ini dimaksudkan agar ia tidak menjadi ingin memakan semua makanan yang tidak patut bagi seorang perawan yang telah diabdikan kepada Tuhan.
                        Ruang lingkup yang menjadi bagian pembelajaran bagi seorang wanita adalah mempelajarai bahasa, baik bahasa Yunani ataupun bahasa latin, lalu pengetahuan dan pengalaman rohani dan yang terakhir tentang keterampilan seperti memintael dan juga menjahit. Dalam proses pelajaran Hieorenimus tidak mengajarkan Alkitab terus menerus mulai dari kejadian hingga Wahyu, melainkan ia memiliki kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan Paula.
                        Dalam mengajar Hieorenimus memiliki prinsip pedagogis sebagai berikut:
a.       Kita kerap meniru yang buruk dan sesuatu yang salah serta-merta kita pelajar namun kebajikan jauh dari pada kita.
b.      Janganlah seorang anak belajar sesuatu yang dihapuskan atau ditolak dikemudian hari
c.       Pengalaman belajar seharus menjadi sebuah pengalaman yang dinikmati dan disenangi murid
d.      Murid harus mendapat apresiasi atas keberhasilan yang didapatnya
e.       Pujian merupakan hadiah yang disenangi oleh murid
f.       Seorang anak akan lebih cepat berhasil dalam pembelajaran melalui kelompok, kareana dengan umur yang sebaya, ia didorong untuk mengerti dan rajin.
g.      Guru harus sabar menghadapi murid yang sulit menangkap pelajaran, jangan lekas marah.
4.      Prinsip-prinsip Pedagogis Yohanes Chrysostomus
                        Yohanes Chrysostomus lahir pada tahun 347 di kota Antiokhia, dia digelari Chrysostomus yang berarti mulut kencana dan maha guru di dunia. Gelar mulut kencana diperolehnya sebab ia mahir dalam berkhotbah dan gelar maha guru didapat oleh karena karyanya dibidang pendidikan gerejawi. Dalam pelayanan berkhotbahnya ia disukai oleh orang-orang, baik yang kristen maupun bukan. Orang-orang lebih memilih datang untuk melihatnya berkhotbah ketimbang menonton atraksi di stadion.
                        Buah-buah pikirian Chrysostomus tentang pendidikan anak dituangkan kedalam karyanya yang bejudul The Right Way for Parents to Bring Up Their Children. Bagi Chrysostomus tujuan PAK adalah mempersiapkan olahragawan bagi Kristus. Chrysostomus terkesan melihat seorang olahragawan yang melihat cara berlatihmya. Dimana ketika berlatih bukan lagi bermain-main atau sambilan, melainkan dengan tekun.dan memiliki gaya kehidupan yang sederhana.
                        Chrysostomus menganjurkan kepada orang tua mengajarkan anaknya untuk hidup sopan dan mengormati segala kehidupan, khususnya dalam kehidupan rohani. Setiap orang tua harus menjadi seperti seorang pelukis atau pemahat yang mempersiapkan anaknya untuk menjadi lebih indah.
                        Setiap anak diajar untuk mengucap syukur kepada Tuhan, dan sebaiknya orang tua mengajarkan tentang Tuhan kepada anaknya. Maka dari itu setiap orang yang ada disekitarnya juga perlu di perhatikan agar tidak mempengaruhi anak kearah yang tidak baik, khusunya dalam perkataan dan juga tindakan
                        Dalam mengajarkan injil atau Firman Tuhan juga tidak boleh secara sekaligus melainkan juga perlu memperhatikan usia anak, agar anak dapat megerti kebenaran Firman Tuhan itu dengan baik dan benar.

5.      Prinsip-prinsip Pedagogis Augustinus
Aurelius Augustinus (354-430)  lahir di Afrika Utara, ia merupakan seorang teolog yang dihormati baik oleh kalangan Katolik maupun Protestan. Dalam perantauannya dari Afrika Utara ke kota Roma di Milan, ketika dalam peargumulan yang berat karena ketidakmampuannya mengendalikan diri, maka dia pergi mencari tempat yang sunyi di taman. Ketika berada di taman ia mendengar suara, yaitu perintah untuk membaca namun apakah yang dapat dibaca di taman?. Augustinus melihat tidak jauh dari tempat itu, sebuah surat dari Paulus kepada jemaat yang berada di Roma, (Roma 13:13-14). Mulai dari kejadian itulah dia membaca Alkitab dengan segala kesulitannya.
Dalam sejarah PAK Augustinus memiliki tiga gagasan atau karya yaitu, Doctrina Christiana (Ajaran Kristen), De Magistra (Sang Guru), dan De Catechizandis Rudibus (Mengkatekisasi orang –orang yang belum didik ). Menurut Augustinus mengajar itu bukan hanya dengan kata-kata saja melainkan juga oleh segala sesuatu yang dinyatakn batin kepadanya oleh Allah.
Seorang guru harus mengajar dengan cara yang sesuai dengan sikap khas murid jadi tidak boleh sesuka guru. Maka dari itu sebelum mengajar guru harus mengetahui benar siapa yang diajar, baik sikap, gender dan juiga latar belakang yang lain. Cara guru untuk mengenai muridnya adalah melalui berdialog dan menjadi seorang yang mengasikan bagi murid, maka murid akan terbuka kepada guru. Suatu prinsip yang bagus dari Augustinus adalah, ia tidak membedakan setiap pelajaran, ia tidak setuju dengan istilah sekuler dan rohani sebab menurutnya Allah adalah guru utama dan menjadi guru atas semuanya.


Share this

Artikel Terkait Baca Di Sini

Previous
Next Post »

Reveneuhits 2