PAK PADA MASA GEREJA PURBA
(Abad ke-2 sampai Abad ke-5)
A.
Tantangan yang Dihadapi Gereja Purba
Sejarah PAK dimulai
pada awal abad ke-2 sampai abad ke-5. Pada abad ke-2 pemeluk agama kristen
masih sangat sedikit jumlahnya. Pada masa ini tidak ada seorang pemimpin
kristen yang cukup berani untuk menubuatkan bahwa kekeristenan akan bertumbuh
besar pada abad ke-5.
Dalam pertumbuhan
kekeristenan mulai dari abad ke-2 sampai abad ke-5 ada beberapa hal yang
menjadi sebuah tantangan bagi gereja purba yaitu adalah sebagai berikut:
1.
Gereja Purba
dihadapkan pada kebudayaan yang mempercayai dewa dan dewi yang banyak. Masa
Romawi juga mengangkat seorang kaisar menjadi tuan atau dewa yang layak untuk
disembah, dengan membentuk sistem pemerintahan agama negara. Setiap warga
negara harus datang beribadah di kuil untuk menyembah patung-patung raja. Orang
kristen juga mendapat ujian akan hal ini, jika mereka tidak mau menyembah
patung raja, maka mereka akan dihukum mati.
2.
Gereja Purba
ditantang untuk dapat mengambil sistem intelektual kebudayaan Yunani tanpa
harus bertentangan dengan ajaran kebenaran Firman Tuhan. Dimana apakah harus
menggunakan karangan kafir dan meninggalkan Alkitab.
3.
Gereja Purba
diuji kemurnian pengakuan imannya, di tengah banyaknya aliran-aliran agama dan
intelektual yang dikenal di dunia Yunani dan Romawi pada zaman itu, seperti Gnostik,
Mitraisme, dan Neoplatonisme.
4.
Gereja Purba
dihadapkan kepada tuduhan-tuduhan yang berusaha melemahkan atau meremehkan iman
kristen dan juga gaya hidup mereka. Orang kristen dianggap tidak memiliki tuhan
karena dalam beribadah tidak ada patung-patung yang disembah. Dituduh melanggar
norma-norma karena tidak ikut dalam
perayaan upacara-upacara keagamaan, dan mereka juga dianggap memakan dagin dan
meminum darah bayi mereka sendiri serta melakukan perzinahah sebagai suatu
bagian integral dari agama kristen.
B. Wadah Pedagogis Gereja Purba
Dalam pengembangan pedagogis ini,
gereja purba mulai mengembangkan tiga wadah pokok yaitu kebaktian, katekese,
dan sekolah katekese.
1.
Kebaktian
Umum
Gaya
hidup bersama berdasarkan pengalaman beribadah orang yahudi di sinagoge, dan
sebagian upacara rahasia oleh agama mistery Yunani. Sebagai keturunan Yahudi
orang Kristen dalam beribadah mencakup tiga hal, hal ibadah pendidikan dan
persekutuan. Jemaat dididik melalui melalui nyanyian mazmur dan melalui firman
yang dibaca, baik yang sudah di sidi maupun yang ingin menjadi katekumen.
Setiap
katekumen disuruh keluar ketika tiba saat untuk perjamuan kudus. Sebab mereka
belum layak untuk menerima perjamuan kudus, hal seperti ini di warisi dari
agama mistery Yunani. Setiap jemaat yang sudah disidi berhak menerima perjamuan
kudus dengan memakan roti dan anggur sebagai lambang kesatuan didalam Kristus
sehingga dijadikan suatu persekutuan dalam kasih yang dilambangkan dengan cium kudus
di antara seorang dengan yang lain. Gereja purba dalam mengajarkan iman melalui
puji-pujian dan gaya hidup mereka.
2.
Katekese
Katekese
bertujuan untuk menanggulangi banyaknya orang dewasa yang ingin mengandikan
hidupnya nbagi Kristus. Menurut Justin terdapat tiga syarat sebelum calon itu
dibaptis, ia harus bertobat bersandar pada gereja, percaya, serta menerima
seluruh pengajarannya dan hidup berkarakter dalam pertobatannya. Para calon
dapat dibaptis kapan saja tetapi orang lebih suka dibapitis pada hari paskah.
Pada
abad ketiga semakin sadar akan pentingnya pedagogis, dan semakin memperketat
syarat yang harus dipenuhi oleh calon katekumen. Apabila seorang katekumen
lulus maka mereka dinamakan competens (boleh menerima baptisan) kepada mereka
Uskup memberikan pengajaran tentang hukum Allah dan seluruh isi Alkitab, mulai
dari Kejadian sampai kitab Wahyu. Setiap competens harus menghapal setiap
pengakuan iman dan pada hari sabtu sebelum permulaan minggu sengsara setiap
competens memilik kesempatan untuk mengucapkan pengakuan iman didepan Uskup.
Dalam seminggu kemudian mereka harus berpuasa dan mawas diri, hal ini dilakukan
sampai pertengahan malam minggu hari paskah. Pada saat pembaptisan dilaksanakan
Uskup mencelupkan calon itu ke dalam air, kali yang pertama Uskup mengucapkan “
aku membaptis kamu dalam nama Bapa”, pada kali kedua “dan dalam nama Anak
Allah”, dan pada kali yang ketiga, “dalam Nama Roh Kudus”. Sebelum dibaptis
calon menghadap ke barat sambil menolak setan tiga kali. Setelah calon sudah dibaptis
ia berhak menerima perjamuan kudus meskipun pembelajaran belum selesai.
3.
Sekolah
Katekisasi
Sekolah
katekisasi yang dimaksud disini mirip dengan semacam Sekolah Teologia, jika
kita melihat kurikulumnya sekolah ini mirip dengan fakultas sastra karna
dalamnnya mempelajari bahasa, lalu
sekolah ini juga mirip dengan fakultas sains oleh karena mahasiswa dan
mahasiswinya mempelajari tentang ilmu ukur dan ilmu hayat. Namun karena sekolah
ini lebih mengutamakan tentang pelajaran Alkitab, maka sekolah katekisasi lebih
sama dengan sekolah Alkitab atau fakultas Teologi.
Setiap
sekolah katekisasi berbeda-beda dalam pendekatannya, contoh sekolah di
Alexandria lebih berorientasi pada filsafat plato dan cara berpikirnya
(pendekatan deduktif). Sedangkan berada di anthiokia lebih ondong kepada
filsafat Aristoteles dan cara berpikirnya (pendekatan induktif). Dalam
penafsirannya sekolah yang di Alexandria lebih menggunakan cara Alegoris
sedangkan Anthiokia secara historys.
C.
Prinsip-prinsip
Pedagogis Para Pedagog Gereja Purba
Para
Pedagog gereja purba menggangap pergumulan teologis merupakanbagian dari
pendidikan agama kristen. Oleh sebab itu, seluruh pergumulan teologi gereja
pada abad-abad pertama itu tidakdipisahkan dari pelayanannya di bidang
pendidikan agama kristen. Saat melakukan pelayanan di bidang PAK para pedagog
gereja purba tersebut menyuarakan prinsip-prinsip pedagogis. Adapaun
prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut:
1.
Prinsip-prinsip
Pedagogis Clementus
Clementua (150-215 M) dia lahir dikota
Atena dan meninggal di Palestina, ketika umur 30 tahun ia masuk sekolah
katekisasi dibawah bimbingan Pantaenus. Gagasan-gagasan pokok di bidang PAK
yang di jelaskan oleh Clementus terdapat dalam tiga karya yaitu: Protrepikos (nasihat yang disampaikan
kepada kaum kafir), Paidagogos (sang
pendidik), dan Stomateis (bunga
rampai). Menurut Clementus sang pengajar yang memainkan peranan paling utama
dalam PAK bukanlah seseorang yang berdiri di depan kelas, namun pendidik pokok
adalah tidak lain dari pada Firman Allah yaitu Kristus.
Firman Allah ingin sekali menyempurnakan
jalan untuk mengantar kita berangsur-angsur menuju keselamatan dengan cara
menyesuaikan suatu urutan dengan perkembangan kita, yaitu: pertama-taman Firman
Tuhan meyakinkan kita, lalu mengajar kita, dan kemudian mendidik. Menurut
Clementus para pelajar adalah anak-anak meskipun mereka sudah dewasa, kata
anak-anak disini sesuia dengan ( 1 Yohanes 2:18) dimana Allah sendiri menjadi
Bapanya (bagi mereka yang percaya kepada Dia).
Tujuan PAK yang hendak dicapai oleh Clementus
adalah menghasilkan orang kriten yang kaya dalam Kristus dan dalam kebudayaan
Yunani. Supaya menghantarkan kita kepada meditasi tentang Allah dan mengamalkan
prilaku suci. Pendidikan dapat terjadi apabila ada seorang yang rela diajar,
mau mengajar, adanya proses belajar mengajar dan kurikulum.
2.
Prinsip-prinsip
pedagogis Origenes
Origenes
(185-224 M) dia adalah murid dari Clementus dia mengharumkan nama kota
Alexandria melalui sekolah katekisasi dan menjadi pusat penelaahan ilmiah.
Origenes ini memiliki pemahaman filsafat Yunani dan juga Alkitabiah, dimana
filsfat Yunani dijadikan sebagai pendorong untuk menjernihkan pemikiran namun
Filsafat Yunani tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan ilahi.
Pengalaman
memperoleh pengetahuan melalui proses belajar, namun kemampuan manusia itu
tebatas, maka dari itu manusia membutuhkan penyataan Allah melalui
penyataan-Nya di dalam Alkitab dan melalui Yesus Kristus. Dalam ilmu penafsiran
Origenes menggunakan metode alegoris, karena dengan metode ini arti yang
tersembunyi di bawah perikop dapat ditemukan.
Dalam
mengajar peran guru sangat penting, dimana kesan pertama sangat mempengaruhi
pembelajaran selanjutnya, dan pada saat itu pula seorang murid menyesuaikan
diri dengan gurunya. Maka dari itu seorang guru harus dapat memanfaatkan moment
ini sebaik mungkin, untuk menggugah hati sang murid untuk memiliki semangat
belajar yang tinggi. Origenes memiliki sifat yang baik dalam mengajar yaitu
sifat yang manis, sabar dan juga menikmati proses belajar-mengajar, dan memiliki
kepercayaan diri. Hal ini diwujudkannya dengan tidak pernah menghina murid dan
juga tidak pernah ingin dianggp lebih besar. Dimana tugas seorang guru adalah
membimbing murid untuk menjernihkan pemikirannya dan mengajarkan mereka untuk
kritis, sehingga tidak mudah percaya terhadap pernyataan-pernyataan orang yang
salah. Seorang guru juga memilik tugas untuk mendidik seorang anak untuk
menjadi seorang yang percaya kepada kemampuan dirinya, sehingga mampu
mengembangkan potensi yang ia miliki.
3.
Prinsip-prinsip
Pedagogis Hieorenimus
Hieorenimus
adalah seorang penerjemaah Alkitab dari bahasa Ibrani dan Yunani kedalam bahasa
Latin (Vulgatus), dan sebelum itu ia adalah seorang guru yang mengajar wanita
Romawi dari golongan elit yang ingin tahu tentang Alkitab lebih dalam.
Hieorenimus menjelaskan dengan jelas tentang bagaimana mengajar anak, khusunya
mengajar anak perempuan di dalam dua suratnya yang dikirim kepada seorang ibu
yang bernama Laeta dan seorang ayah yang bernama Gaudentius.
Paula
adalah seorang wanita yang diajar oleh Hieorenimus , ia diajarkan untuk tidak
bermain dengan laki-laki supaya tidak terpengaruh dengan kata-kata yang kasar
dan perbuatan buruk tidak dilihatnya. Setiap pembantunya tidak boleh
sembarangan , yang dimaksud sembarangan adalah tidak memiliki kehidupan
keduniawian yang tidak menyanyikan lagu pop, sebaiknya Paula menyanyikan
mazmur-mazmur. Paula juga didik untuk tidak makan bersama dengan orang tuanya,
hal ini dimaksudkan agar ia tidak menjadi ingin memakan semua makanan yang tidak
patut bagi seorang perawan yang telah diabdikan kepada Tuhan.
Ruang lingkup yang menjadi bagian
pembelajaran bagi seorang wanita adalah mempelajarai bahasa, baik bahasa Yunani
ataupun bahasa latin, lalu pengetahuan dan pengalaman rohani dan yang terakhir
tentang keterampilan seperti memintael dan juga menjahit. Dalam proses
pelajaran Hieorenimus tidak mengajarkan Alkitab terus menerus mulai dari
kejadian hingga Wahyu, melainkan ia memiliki kurikulum yang sesuai dengan
kebutuhan Paula.
Dalam
mengajar Hieorenimus memiliki prinsip pedagogis sebagai berikut:
a. Kita
kerap meniru yang buruk dan sesuatu yang salah serta-merta kita pelajar namun
kebajikan jauh dari pada kita.
b. Janganlah
seorang anak belajar sesuatu yang dihapuskan atau ditolak dikemudian hari
c. Pengalaman
belajar seharus menjadi sebuah pengalaman yang dinikmati dan disenangi murid
d. Murid
harus mendapat apresiasi atas keberhasilan yang didapatnya
e. Pujian
merupakan hadiah yang disenangi oleh murid
f. Seorang
anak akan lebih cepat berhasil dalam pembelajaran melalui kelompok, kareana
dengan umur yang sebaya, ia didorong untuk mengerti dan rajin.
g. Guru
harus sabar menghadapi murid yang sulit menangkap pelajaran, jangan lekas
marah.
4.
Prinsip-prinsip
Pedagogis Yohanes Chrysostomus
Yohanes
Chrysostomus lahir pada tahun 347 di kota Antiokhia, dia digelari Chrysostomus
yang berarti mulut kencana dan maha guru di dunia. Gelar mulut kencana
diperolehnya sebab ia mahir dalam berkhotbah dan gelar maha guru didapat oleh
karena karyanya dibidang pendidikan gerejawi. Dalam pelayanan berkhotbahnya ia
disukai oleh orang-orang, baik yang kristen maupun bukan. Orang-orang lebih
memilih datang untuk melihatnya berkhotbah ketimbang menonton atraksi di
stadion.
Buah-buah
pikirian Chrysostomus tentang pendidikan anak dituangkan kedalam karyanya yang
bejudul The Right Way for Parents to
Bring Up Their Children. Bagi Chrysostomus tujuan PAK adalah mempersiapkan
olahragawan bagi Kristus. Chrysostomus terkesan melihat seorang olahragawan
yang melihat cara berlatihmya. Dimana ketika berlatih bukan lagi bermain-main
atau sambilan, melainkan dengan tekun.dan memiliki gaya kehidupan yang
sederhana.
Chrysostomus menganjurkan kepada
orang tua mengajarkan anaknya untuk hidup sopan dan mengormati segala
kehidupan, khususnya dalam kehidupan rohani. Setiap orang tua harus menjadi
seperti seorang pelukis atau pemahat yang mempersiapkan anaknya untuk menjadi
lebih indah.
Setiap anak diajar untuk mengucap
syukur kepada Tuhan, dan sebaiknya orang tua mengajarkan tentang Tuhan kepada
anaknya. Maka dari itu setiap orang yang ada disekitarnya juga perlu di
perhatikan agar tidak mempengaruhi anak kearah yang tidak baik, khusunya dalam
perkataan dan juga tindakan
Dalam mengajarkan injil atau Firman
Tuhan juga tidak boleh secara sekaligus melainkan juga perlu memperhatikan usia
anak, agar anak dapat megerti kebenaran Firman Tuhan itu dengan baik dan benar.
5.
Prinsip-prinsip
Pedagogis Augustinus
Aurelius
Augustinus (354-430) lahir di Afrika
Utara, ia merupakan seorang teolog yang dihormati baik oleh kalangan Katolik
maupun Protestan. Dalam perantauannya dari Afrika Utara ke kota Roma di Milan,
ketika dalam peargumulan yang berat karena ketidakmampuannya mengendalikan
diri, maka dia pergi mencari tempat yang sunyi di taman. Ketika berada di taman
ia mendengar suara, yaitu perintah untuk membaca namun apakah yang dapat dibaca
di taman?. Augustinus melihat tidak jauh dari tempat itu, sebuah surat dari
Paulus kepada jemaat yang berada di Roma, (Roma 13:13-14). Mulai dari kejadian
itulah dia membaca Alkitab dengan segala kesulitannya.
Dalam sejarah PAK Augustinus
memiliki tiga gagasan atau karya yaitu, Doctrina
Christiana (Ajaran Kristen), De
Magistra (Sang Guru), dan De
Catechizandis Rudibus (Mengkatekisasi orang –orang yang belum didik ).
Menurut Augustinus mengajar itu bukan hanya dengan kata-kata saja melainkan
juga oleh segala sesuatu yang dinyatakn batin kepadanya oleh Allah.
Seorang guru harus mengajar
dengan cara yang sesuai dengan sikap khas murid jadi tidak boleh sesuka guru.
Maka dari itu sebelum mengajar guru harus mengetahui benar siapa yang diajar, baik sikap, gender dan juiga
latar belakang yang lain.
Cara guru untuk mengenai muridnya adalah melalui berdialog dan menjadi seorang
yang mengasikan bagi murid, maka murid akan terbuka kepada guru. Suatu
prinsip yang bagus dari Augustinus adalah, ia tidak membedakan setiap
pelajaran, ia tidak setuju dengan istilah sekuler dan rohani sebab menurutnya
Allah adalah guru utama dan menjadi guru atas semuanya.